Gapura
Pustaka Kita
04 Agustus 2012
Sepak Bola Eropa dan Kita
Dualisme dalam Sepak Bola Indonesia
25 November 2010
Bajigur
Sebelum di Jogja, kata tersebut hanya sebuah minuman dari Jawa Barat. Di Jogja kata tersebut berubah arti, seringkali dijumpai kata tersebut keluar saat orang sedang emosi, mengumpat. Seorang teman menjelaskan bahwa kata tersebut memang umpatan dari kata 'bajingan' untuk memperhalus menjadi 'bajigur'.
Sampai akhirnya saya menemukan bajigur sesungguhnya, minuman bajigur. Tidaklah mudah mencari minuman tersebut di Jogja, saya tahu pun dari seorang teman. Hampir tiap malam ia keluar membeli minuman tersebut, semula saya mengira dia hanya beli minuman di angkringan. Ternyata yang ia beli adalah bajigur.
Warung bajigur tersebut terletak di perempatan Tirtodipuran, seberang supermarket Maga. Meskipun jalan disekitar tersebut ramai, tampilan warung tersebut sangatlah sederhana, temaram dengan penerangan sentir, saat ini telah diganti dengan lampu listrik. Bekas lampu sentir terlihat di tembok di belakang tempat duduk simbah. Bentuk warungnya hampir sama dengan angkringan, memakai gerobak dengan jajanan berupa gorengan, nasi kucing, dan yang pasti ketan.
Simbah mulai berjualan bajigur sejak tahun 1968, buka sore hari hingga dinihari. Dari awal berjualan sampai saat ini tidak pernah berpindah tempat. Hanya bergeser sedikit ke utara dari semula benar-benar di perempatan Tirtodipuran, disebabkan pemilik tanah membangun rumah. Pelanggannya adalah mahasiswa AMI (Akademi Musik Indonesia), waktu itu kampus AMI berada dibelakang Maga saat ini.
"ndaleme pundi mas?", tanya seorang bapak teman bicara.
"Gowok pak", jawabku
"kalih kompleks polisi?"
"nggih ngriku", jawabku lagi
"njenengan polisi?"
"sanes pak, ming ngontrak"
"monggo mas, pareng". ia pamit pergi setelah membayar makanan dan minuman
"monggo", jawabku
Bajigur, gara-gara bertanya simbah, rambut cepak, dan tinggal di kompleks polisi dikira polisi.
Jogja, 23 November 2010
Pesan, Tanda, dan Makna (seperti judul buku)
Ingsun titip tajug lan fakir miskin
Kalimat tersebut sangat familiar di masyarakat Cirebon. Begitu familiarnya oleh pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten Cirebon kalimat tersebut dipasang diberbagai sudut jalan. Kalimat tersebut konon berasal dari Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga. Sebagai wasiat Sunan Gunung Jati kepada masyarakat Cirebon.Arti kalimat tersebut kurang lebih “saya titip masjid dan fakir miskin”. Bagaimana kondisi masyarakat Cirebon pada waktu itu? Sehingga beliau berwasiat seperti itu. Apakah wasiat tersebut masih relevan bagi masyarakat Cirebon? Sehingga perlu diingatkan terus.
Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan, Putri, seorang seniman muda dari Cirebon. Tepat saat Merapi meletus 4-5 November lalu ia baru saja menginjakkan kakinya di Jogja. Saya bertemu dengannya disebuah rumah di daerah Baciro, saya dikenalkan dengan teman-temannya yang sedang bergiat membantu pengungsi Merapi. Salah seorang temannya sebut saja Bang Buyung, ia berasal dari Sumatra tapi pernah tinggal dan berbisnis di Cirebon. Ia mempunyai jaringan yang cukup baik, termasuk dengan kalangan bangsawan di salah satu keraton di Cirebon. Tidaklah aneh bila ia juga pernah berkunjung ke Astana Gunung Jati (sebenarnya terdiri dua kompleks yaitu Gunung Sembung dan Gunung Jati), kompleks makam sultan-sultan Cirebon, termasuk makam Sunan Gunung Jati. Begitu pula sang kawan, walaupun sampai saat ini baru satu kali berkunjung ke sana.
Ada kesamaan antara Putri dan Bang Buyung soal Astana Gunung Jati, terlalu banyak pengemis dan sangat menyiksa. Saya mengamini hal tersebut. Adalah hal lumrah dikompleks-kompleks ziarah wali sanga banyak ditemui pengemis. Di Astana Gunung Jati bisa dikatakan luar biasa. Diantara kompleks ziarah wali sanga lainnya, Astana Gunung Jati adalah kompleks yang paling banyak pengemis dan sangat agresif. Sekali kita memberi kepada satu pengemis, maka pengemis lainnya akan berdatangan dan meminta nilai yang sama. Mungkin keagresifannya hanya bisa disamai oleh pengemis-pengemis ditempat ziarah di Madura.
Saya dan Putri meneruskan obrolan di angkringan Tugu, sementara Bang Buyung mempersiapkan bantuan untuk Merapi.
“ang, kenangapa ning cerbon akeh pengemis? Apa maning ning Gunung Jati, apa Sunan Gunung Jati salah wasiat? Wasiate kan ingsun titip tajug lan fakir miskin” (mas, kenapa di Cirebon banyak pengemis? Terlebih di Gunung Jati, apa Sunan Gunung Jati salah memberi wasiat? Wasiatnya kan ingsun titip tajug lan fakir miskin.”), tanya Putri.
Pertanyaan ini sangat menarik, karena wasiat tersebut selalu didengung-dengungkan bahkan menjadi propaganda pemerintah daerah. Untuk wasiat pertama tidak perlu diperdebatkan karena ukurannya jelas. Berbeda dengan pesan kedua fakir miskin yang ukurannya masih bisa diperdebatkan, terlebih dengan melihat perilaku pengemis yang sangat berlebihan. Kami hanya menduga-duga bahwa ada suatu kondisi atau gejala tertentu di masyarakat waktu itu sehingga beliau berwasiat seperti itu dan masyarakat telah salah menerjemahkan pesan beliau, bahwa karena mereka fakir miskin maka mereka layak mengemis dan memaksa orang yang dianggap berlebih untuk memberi. Sekaligus potret kemalasan masyarakat
Pesan tersebut kemudian diterjemahkan pemda dengan memasang baligo-baligo di pinggir jalan. Setiap saat masyarakat disuguhi kalimat tersebut. Sementara dibawah baligo, di pinggiran jalan, para pengemis berkeliaran. Apa yang ingin disampaikan pemasangan baligo tersebut terutama bagi pemda sendiri? Apakah ingin mengatakan kepada masyarakat silakan bersodaqoh kepada para pengemis-pengemis tersebut?
Wallahu’alam
Semoga bukan sekedar pajangan di pinggir jalan.
Jogja, 22 November 2010
22 Oktober 2010
Naik Delman
Entah sejak kapan pasar malam diadakan. Pastinya perayaan tersebut bisa menghadirkan delman-delman yang telah menghilang di kota kecil kami. Sebelum kehadiran angkutan kota sekitar tahun 1970-an, delman menjadi alat transportasi utama, bukan hanya dari desa ke pasar di pusat kota kecamatan kami, juga untuk menuju ibu kota kabupaten. Saat angkutan kota melayani kota kecamatan kami menuju ibu kota kabupaten delman mulai menyingkir dari jalan utama, hanya melayani arah utara dan arah selatan dari kota kecamatan kami.
Kota kecamatan kami sangat strategis di jalan pos Daendels, berada di sebelah barat ibu kota kabupaten yang hanya berjarak sekitar 8 km. Di sebelah selatan ada kota kecamatan tetangga yang saat ini telah menjadi ibu kota kabupaten menggantikan ibu kota lama. Sebelah utara daerah agraris di kecamatan kami, sawah membentang luas. Di sebelah barat kota-kota kecamatan lainnya yang dihubungkan oleh jalan pos Daendels. Di pusat kota kecamatan terdapat dua pasar, satu pasar utama yang terletak dipersimpangan pertemuan segala arah tadi. Berjarak satu kilometer ke arah timur terdapat pasar khusus yang hanya menjual kue dan makanan kecil lainnya yang dihasilkan dari desa-desa di sekitar pasar kue tersebut.
Di antara kecamatan-kecamatan lain di kabupaten kami, kecamatan kami paling ramai, hanya kalah dari ibu kota kabupaten lama. Menjadi titik pertemuan. Tempat berdirinya pasar utama kecamatan kami merupakan tempat peristirahatan delman dan pedati yang menuju ibu kota kabupaten lama, masyarakat menyebut tempat tersebut pasalaran dan saat ini menjadi nama pasar di kota kecamatan kami. Saat ini menjadi titik kemacetan utama di kabupaten kami. Jalan utama dari barat ke timur diperlebar, begitu pun ke utara, terlebih ke selatan semenjak ibu kota kabupaten pindah di kecamatan tetangga di selatan. Jalan tol dibangun menghubungkan sisi barat kota dan sisi timur kota, kemacetan masih menyergap kota kecamatan kami. Truk-truk besar dan bis-bis antar kota digantikan motor.
Delman-delman semula masih mendapat tempat di sisi barat pasar Pasalaran. Masih melayani penumpang ke arah utara dan selatan. Persaingan sengit terjadi di jalur selatan, angkutan kota yang menghubungkan ibu kota baru semula tidak mengusik keberadaan delman. Seiring tuanya armada angkutan kota, berganti dengan mobil-mobil baru, generasi baru lebih akrab dengan angkutan kota baru. Jumlah delman semakin lama semakin sedikit. Tidak terasa tiba-tiba menghilang.
Nasib delman jalur utara lebih baik. Masyarakat di utara yang agraris banyak menjadi pemilik delman-delman tersebut. Jarak dari desa mereka ke kota kecamatan kurang lebih 5 km. Untuk menempuh jarak tersebut transportasi umum satu-satunya yang tersedia adalah delman. Delman bertahan lebih lama di jalur ini. Sampai pada akhirnya bernasib sama dengan jalur timur dan selatan. Jalur baru angkutan kota dibuka, melayani jalur utara. Beberapa saat delman masih bertahan. Kebakaran pasar Pasalaran turut "membakar" delman-delman yang tersisa. Lenyap!
Kusir-kusir dari utara masih memiliki delman-delman tersebut. Namun, hadir hanya dalam ritual-ritual tahunan yang ada di kecamatan kami, selain di desaku, delman-delman hadir selama perayaan Maulud Nabi Muhammad saw di desa tetangga. Seperti di desaku, desa tetangga mempunyai masjid dan makam kramat. Disitulah pusat keramaian pasar malam maulud. Naik delman untuk merayakan 3 ritual tahunan.