Pustaka Kita

04 Agustus 2012

Sepak Bola Eropa dan Kita


Euro 2012 Polandia-Ukraina memasuki partai puncak. Dua tim yang bertanding di partai final di Kiev telah diketahui, Spanyol vs Italia. Di semifinal Spanyol mengalahkan tetangga Iberia-nya—Portugal—lewat adu tendangan pinalti dengan skor akhir 4-2 untuk Spanyol. Sehari kemudian Italia mengalahkan Jerman dengan skor 2-1, dua gol Italia diborong Mario Balotelli di babak pertama, Jerman hanya bisa membalas satu gol lewat titik putih yang dilakukan oleh Mesut Ozil.

Tiga dari empat negara semifinalis Euro 2012 Polandia-Ukraina sangatlah akrab bagi penggemar sepak bola di Indonesia yakni Jerman, Italia, dan Spanyol. Inggris bisa dimasukkan dalam kategori tersebut, sayangnya harus angkat koper terlebih dahulu setelah dikalahkan Italia di perempatfinal. Liga sepak bola negara-negara tersebut pernah dan masih menghiasi layar kaca.

Dekade 80-an Liga Jerman atau Bundesliga hadir di televisi Indonesia. Klub-klub seperti Bayern Nurnberg, Bayer Uerdingen (sekarang lebih dikenal dengan Uerdingen 05), Eintracht Frankfurt, Borussia Monchengladbach dan tentu saja Werder Bremen, Borussia Dortmund, Bayern Muenchen sering menghiasi layar kaca. Bagi generasi sekarang tidak begitu mengenal dua klub yang disebut diawal. Pola 3-5-2 sedang tren di sepak bola Jerman, puncaknya Jerman menjadi juara Piala Dunia 1990 di Italia. Kardono, ketua PSSI waktu itu, mengadopsi pola 3-5-2 Jerman untuk dipakai di Indonesia. Pemain Indonesia waktu itu hanya mengenal pola 3-5-2, sering gagap bila pelatih timnas memakai pola lain.

Dekade 90-an Indonesia mulai mengenal sepak bola Italia. Stasiun televisi swasta menanyangkan Seri A, konon stasiun televisi pertama diluar Italia yang menyiarkan Seri A, dengan begitu Indonesia adalah negara pertama selain Italia yang menikmati Seri A. Pengaruh Seri A sangat kuat bila dibandingkan dengan liga-liga Eropa lainnya, baik sebelum dan sesudahnya.

Di televisi siaran Seri A merajai di akhir pekan. Peluah itu dilihat oleh stasiun-stasiun televisi lainnya. Terjadi persaingan sengit dalam memperebutkan hak siar Seri A. Bisa dikatakan, kita (stasiun televisi) saling membunuh sesamanya. Harga pun melambung tinggi, sehingga pada akhirnya tidak ada satu pun yang menjadi pemenang. Stasiun televisi mulai menghindari Seri A karena harga yang sudah diluar normal.

Popularitas Seri A didorong pula adanya program Primavera dan Baretti. PSSI mengirimkan pemain-pemain muda yang dikumpulkan dalam sebuah tim untuk mengikuti kompetisi level yunior di Italia, Primavera dan Baretti. Kurniawan D.Y. dan kawan-kawan digadang-gadang sebagai pemain harapan di masa depan. Ini dibuktikan dengan dikontraknya Kurniawan D.Y. oleh klub Swiss FC Luzern tahun 1994-1995. Ia tercatat sebagai pemain Indonesia pertama yang dikontrak klub Eropa. Dua musim di FC Luzern, Kurniawan mencetak 10 gol, jumlah gol yang tidak sedikit untuk ukuran pemain muda dan pertama kali berkiprah di Eropa. Kiprahnya diikuti Bima Sakti, dikontrak oleh klub Helsingborgs IF tahun 1995-1996. Bima tercatat sebagai pemain Indonesia pertama yang bermain di UEFA Cup atau Europa League.

Media cetak turut memeriahkan hingar bingar Seri A. Berita Seri A menjadi sajian utama berita olahraga. Sampai saat ini hal tersebut masih terjadi di beberapa media cetak. Efek dari gencarnya siaran langsung Seri A dan pemberitaan di media cetak, istilah-istilah sepak bola dalam bahasa Italia menjadi sangat akrab di telinga orang Indonesia seperti tifosi untuk suporter, espulso untuk kartu merah, amonito untuk kartu kuning, capolista untuk pemuncak klasemen, copa untuk piala, dan sebagainya. Sebuah media cetak nasional dari Jawa Timur sering menggunakan istilah-istilah Italia seperti tifosi,capolistacopa, dan lainnya menggantikan istilah Indonesia atau Inggris. Sampai saat ini istilah-istilah Italia masih sangat akrab. PSSI sebagai penanggung jawab sepak bola Indonesia pun sempat menggunakan kata Copa Indonesia untuk gelaran Piala Indonesia—diluar unsur pesanan sponsor.

Masifnya Seri A juga berimbas ke penonton. Penonton mengidentifikasi dirinya berdasar klub-klub kesayangannya, fans club bermunculan. Tifosi Juventus akan mengidentikkan dirinya Juventini. Milanisti untuk AC Milan, Interisti untuk Internazionale, Laziale untuk tifosi Lazio, Romanisti untuk tifosiAS Roma dan sebagainya. Menyalakan flare, membawa bendera klub, atau spanduk adalah kebiasaantifosi  di Italia yang banyak kita temui di sepak bola kita saat ini.

Skandal adalah sisi lain dari sepak bola Italia. Dari kerusuhan antar penonton, perwasitan, sampai pengaturan skor. Saat bersamaan hal tersebut identik terjadi di Indonesia. Bedanya di Italia saat skandal mencuat bisa tertutupi oleh prestasi tim nasionalnya. Kala menjuarai Piala Eropa 2006, Italia sedang dilanda calciopoli (skandal pengaturan skor). Kejadian identik terjadi saat ini, Italia sedang dilanda scommessopoli. Ini adalah skandal suap keempat yang terungkap sejak tahun 1980-an. Di Indonesia konflik dan skandal tiada ujung dan tiada kompensasi kebanggaan. Prestasi dan manajerial semakin tidak menentu. Kerusuhan antar suporter seperti tidak terkendali.

Dekade yang sama dengan Seri A, Premier League sedang membangun brand baru sebagai liga teratas Inggris pasca skorsing UEFA. Hingar bingar Premier League dengan suguhan barunya belum bisa mengalahkan Seri A. Naiknya pamor Premier League tertolong oleh persaingan antar televisi yang saling “membunuh” dalam memperebutkan hak siar. Penonton sepak bola disuguhi tontonan alternatif Premier League, kemudian hari sedikit demi sedikit menggerogoti tayangan Seri A yang semakin kehilangan gairah.

Tontonan Premier League terlihat sangat berbeda dengan Bundesliga maupun Seri A. Jarak penonton yang dekat dengan lapangan bahkan terkesan tidak ada pembatas. Penonton yang duduk rapi dan sering bertepuk tangan seperti layaknya nonton teater. Sebagai tontonan sangatlah menghibur. Para pemain jatuh bangun mengejar bola, “polisi” jarang meniup peluit.

Ekspansi Premier League sebagai tontonan lebih masif dari liga Eropa lainnya. Negara-negara Asia Tenggara menjadi pasar utama. Prestasi pas-pasan tapi kegilaan terhadap tontonan  sepak bola sangat luar biasa. Pastinya penonton sudah sangat akrab dengan Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan sekarang Manchester City dan klub-klub Inggris lainnya. Di Thailand, klub-klub mengadopsi sisi ekonomi dan manajerial dalam mengelola klub. Stadion dibuat meniru stadion di Inggris. Membuat merchandise sebagai salah satu sumber pemasukan. Saat ini sudah tertanam idiom, “liga kami adalah TPL, EPL adalah hiburan”.

Kesuksesan Premier League dan klub-klub Inggris tidak diikuti level tim nasional. Pamor Premier League sebagai liga terbaik Eropa tidak berbanding lurus dengan prestasi tim nasional Inggris. Liga hingar bingar prestasi tim nasional melempem juga terjadi di Indonesia. Liga Indonesia sering dikatakan sebagai yang terbaik di ASEAN. Buktinya sampai tahun lalu Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang klubnya bisa bermain di level atas Asia yaitu Liga Champions Asia. Level tim nasional, Indonesia bisa dikatakan raja runner up di beberapa gelaran Piala Tiger atau Piala AFF.

Media televisi kembali memberi andil dalam suguhan tontonan sepak bola. La Liga yang di Indonesia jadwalnya tidak bersahabat masuk menjadi tontonan alternatif. La Liga sering dikatakan liga pacuan kuda karena dalam setiap musim hanya ada dua tim yang berpeluang menjadi juara, Barcelona dan Real Madrid. Valencia, Atletico Madrid, Athletic Bilbao, Sevilla, dan lainnya seakan menjadi penggembira. Kehebatan mereka belum bisa menandingi kedigdayaan Barcelona dan Real Madrid.  Sejak 2000, selain Barcelona dan Real Madrid hanya Valencia yang pernah menjuarai La Liga.

Belum bisa diketahui apa yang sudah ditransfer dari La Liga atau kesamaan kejadian di La Liga dengan sepak bola di Indonesia. Penonton matang saat ini lahir dari Bundesliga, Seri A, dan Premier League. Kita lihat generasi yang mendatang.

Dualisme dalam Sepak Bola Indonesia


Di masa akhir jabatannya, Nurdin Halid dihadapkan dengan hadirnya Liga Primer Indonesia (LPI). Konon didukung oleh Arifin Panigoro. PSSI menganggap LPI tidak sah bahkan oleh FIFA dilabeli “Breakaway League”. LPI tetap berjalan dengan dukungan pemerintah.


Dualisme kompetisi tertinggi muncul kepermukaan. ISL (Indonesia Super League), liga yang digulirkan PSSI, mendapat saingan dari LPI. Penggagas LPI ingin mewujudkan sepak bola profesional dengan meniru sistem liga di Australia dan Amerika Serikat.


Dualisme berakhir seiring dengan pergantian pengurus PSSI. PSSI merombak total kompetisi. ISL dibubarkan, diganti IPL (Indonesia Premier League) dan menambah peserta menjadi 24 klub. Kebijakan ini serta merta mendapat tentangan banyak klub.


Beberapa klub tetap menginginkan ISL sebagai kompetisi tertinggi dengan peserta 18 klub. Lainnya menyetujui konsep PSSI. Dualisme kompetisi tampaknya belum benar-benar bisa diselesaikan PSSI. Bahkan menjalar ke level klub, beberapa klub mengalami dualisme (legalitas), seperti Persija, Arema, dan Persebaya.


Sepak bola Indonesia tidak asing dengan dualisme. Federasi sepak bola tertinggi di negeri ini sejak awal pun sudah mengalaminya. Adalah PSSI sebagai “pencetus” dualisme sepak bola. PSSI didirikan pada 1930 untuk memperjuangkan kepentingan pribumi di dunia sepak bola, menandingi NIVB (Nederlandsch-Indische Voetball Bond) yang didominasi oleh orang-orang Eropa.


Dimata NIVB mutu kompetisi PSSI lebih buruk dari kompetisi NIVB. Lambat laun kompetisi yang diselenggarakan NIVB kalah pamor dari kompetisi PSSI. Pertandingan kompetisi NIVB semakin ditinggalkan penonton. Kompetisi PSSI atau perserikatan berlangsung sampai Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. Akhir tahun 1970-an PSSI menggulirkan Galatama (Liga Sepak bola Utama). Salah satu perintis liga profesional di Asia. Kompetisi Perserikatan dan Galatama berjalan seiring sejalan. Pemain nasional bisa berasal dari dua kompetisi yang berbeda rohnya tersebut. Hingga akhirnya kompetisi amatir dan semi profesional digabungkan menjadi Liga Indonesia pada 1994.


Konflik di NIVB dan Lahirnya NIVU
NIVB didirikan pada 1919 dan diakui sebagai anggota FIFA pada 1924. Anggota NIVB terdiri federasi atau perserikatan di Pulau Jawa (Jakarta, Sukabumi, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang ), Banjarmasin, Makassar, dan Medan.


Jalannya NIVB tidaklah mulus. Di dalam organisasi terjadi kekisruhan—terbentuk dua kubu, yaitu Jawa bagian Barat dimotori Jakarta dan Jawa bagian Timur dimotori Surabaya. Di lapangan, kompetisi semakin sepi penonton—kalah bersaing dengan PSSI. Puncaknya beberapa federasi atau perserikatan dimotori VBO (Jakarta) keluar dari keanggotaan NIVB, menyisakan Surabaya dan Malang.


Tahun 1934, VBO dan federasi atau perserikatan yang keluar dari NIVB mendirikan organisasi baru, NIVU (Nederlandsch Indische Voetball Uni). NIVB bubar pada 1935. FIFA mengakui NIVU menggantikan NIVB pada 1936.


Hubungan PSSI dengan NIVU lebih baik dibanding dengan NIVB. NIVU sebagai organisasi yang diakui FIFA berusaha merangkul PSSI. Pada 1937, NIVU dan PSSI sepakat membentuk tim nasional bersama untuk menghadapi Piala Dunia 1938 Perancis. Kekisruhan kembali terjadi. Menjelang bergulirnya Piala Dunia 1938, PSSI membatalkan kerjasama pembentukan tim nasional. NIVU dituduh menentukan pemain secara sepihak dan penggunaan bendera Belanda sebagai bendera Hindia Belanda.


Tidaklah mengherankan bila kita sering menyebut tim nasional dengan sebutan "PSSI" untuk membedakan tim nasional NIVU. Meskipun FIFA mengakui Indonesia sebagai negara Asia pertama peserta Piala Dunia, PSSI tidak pernah mengakuinya.


Pasca kemerdekaan, NIVU masih diakui sebagai anggota FIFA. NIVU bubar seiring pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949. PSSI diakui sebagai anggota FIFA tiga tahun kemudian, tahun 1952. Dualisme federasi dan kompetisi pun berakhir.

DIDI JUNAEDI
Pencinta Sejarah dan Sepak Bola

Dimuat di Rubrik Oposan Tabloid Bola edisi 2.274
Kamis-Jumat, 17-18 November 2011

25 November 2010

Bajigur

Sebelum di Jogja, kata tersebut hanya sebuah minuman dari Jawa Barat. Di Jogja kata tersebut berubah arti, seringkali dijumpai kata tersebut keluar saat orang sedang emosi, mengumpat. Seorang teman menjelaskan bahwa kata tersebut memang umpatan dari kata 'bajingan' untuk memperhalus menjadi 'bajigur'.

Sampai akhirnya saya menemukan bajigur sesungguhnya, minuman bajigur. Tidaklah mudah mencari minuman tersebut di Jogja, saya tahu pun dari seorang teman. Hampir tiap malam ia keluar membeli minuman tersebut, semula saya mengira dia hanya beli minuman di angkringan. Ternyata yang ia beli adalah bajigur.

Warung bajigur tersebut terletak di perempatan Tirtodipuran, seberang supermarket Maga. Meskipun jalan disekitar tersebut ramai, tampilan warung tersebut sangatlah sederhana, temaram dengan penerangan sentir, saat ini telah diganti dengan lampu listrik. Bekas lampu sentir terlihat di tembok di belakang tempat duduk simbah. Bentuk warungnya hampir sama dengan angkringan, memakai gerobak dengan jajanan berupa gorengan, nasi kucing, dan yang pasti ketan.

Simbah mulai berjualan bajigur sejak tahun 1968, buka sore hari hingga dinihari. Dari awal berjualan sampai saat ini tidak pernah berpindah tempat. Hanya bergeser sedikit ke utara dari semula benar-benar di perempatan Tirtodipuran, disebabkan pemilik tanah membangun rumah. Pelanggannya adalah mahasiswa AMI (Akademi Musik Indonesia), waktu itu kampus AMI berada dibelakang Maga saat ini.

"ndaleme pundi mas?", tanya seorang bapak teman bicara.

"Gowok pak", jawabku

"kalih kompleks polisi?"

"nggih ngriku", jawabku lagi

"njenengan polisi?"

"sanes pak, ming ngontrak"

"monggo mas, pareng". ia pamit pergi setelah membayar makanan dan minuman

"monggo", jawabku

Bajigur, gara-gara bertanya simbah, rambut cepak, dan tinggal di kompleks polisi dikira polisi.

Jogja, 23 November 2010

Pesan, Tanda, dan Makna (seperti judul buku)

Ingsun titip tajug lan fakir miskin

Kalimat tersebut sangat familiar di masyarakat Cirebon. Begitu familiarnya oleh pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten Cirebon kalimat tersebut dipasang diberbagai sudut jalan. Kalimat tersebut konon berasal dari Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga. Sebagai wasiat Sunan Gunung Jati kepada masyarakat Cirebon.Arti kalimat tersebut kurang lebih “saya titip masjid dan fakir miskin”. Bagaimana kondisi masyarakat Cirebon pada waktu itu? Sehingga beliau berwasiat seperti itu. Apakah wasiat tersebut masih relevan bagi masyarakat Cirebon? Sehingga perlu diingatkan terus.

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan, Putri, seorang seniman muda dari Cirebon. Tepat saat Merapi meletus 4-5 November lalu ia baru saja menginjakkan kakinya di Jogja. Saya bertemu dengannya disebuah rumah di daerah Baciro, saya dikenalkan dengan teman-temannya yang sedang bergiat membantu pengungsi Merapi. Salah seorang temannya sebut saja Bang Buyung, ia berasal dari Sumatra tapi pernah tinggal dan berbisnis di Cirebon. Ia mempunyai jaringan yang cukup baik, termasuk dengan kalangan bangsawan di salah satu keraton di Cirebon. Tidaklah aneh bila ia juga pernah berkunjung ke Astana Gunung Jati (sebenarnya terdiri dua kompleks yaitu Gunung Sembung dan Gunung Jati), kompleks makam sultan-sultan Cirebon, termasuk makam Sunan Gunung Jati. Begitu pula sang kawan, walaupun sampai saat ini baru satu kali berkunjung ke sana.

Ada kesamaan antara Putri dan Bang Buyung soal Astana Gunung Jati, terlalu banyak pengemis dan sangat menyiksa. Saya mengamini hal tersebut. Adalah hal lumrah dikompleks-kompleks ziarah wali sanga banyak ditemui pengemis. Di Astana Gunung Jati bisa dikatakan luar biasa. Diantara kompleks ziarah wali sanga lainnya, Astana Gunung Jati adalah kompleks yang paling banyak pengemis dan sangat agresif. Sekali kita memberi kepada satu pengemis, maka pengemis lainnya akan berdatangan dan meminta nilai yang sama. Mungkin keagresifannya hanya bisa disamai oleh pengemis-pengemis ditempat ziarah di Madura.

Saya dan Putri meneruskan obrolan di angkringan Tugu, sementara Bang Buyung mempersiapkan bantuan untuk Merapi.

ang, kenangapa ning cerbon akeh pengemis? Apa maning ning Gunung Jati, apa Sunan Gunung Jati salah wasiat? Wasiate kan ingsun titip tajug lan fakir miskin” (mas, kenapa di Cirebon banyak pengemis? Terlebih di Gunung Jati, apa Sunan Gunung Jati salah memberi wasiat? Wasiatnya kan ingsun titip tajug lan fakir miskin.”), tanya Putri.

Pertanyaan ini sangat menarik, karena wasiat tersebut selalu didengung-dengungkan bahkan menjadi propaganda pemerintah daerah. Untuk wasiat pertama tidak perlu diperdebatkan karena ukurannya jelas. Berbeda dengan pesan kedua fakir miskin yang ukurannya masih bisa diperdebatkan, terlebih dengan melihat perilaku pengemis yang sangat berlebihan. Kami hanya menduga-duga bahwa ada suatu kondisi atau gejala tertentu di masyarakat waktu itu sehingga beliau berwasiat seperti itu dan masyarakat telah salah menerjemahkan pesan beliau, bahwa karena mereka fakir miskin maka mereka layak mengemis dan memaksa orang yang dianggap berlebih untuk memberi. Sekaligus potret kemalasan masyarakat

Pesan tersebut kemudian diterjemahkan pemda dengan memasang baligo-baligo di pinggir jalan. Setiap saat masyarakat disuguhi kalimat tersebut. Sementara dibawah baligo, di pinggiran jalan, para pengemis berkeliaran. Apa yang ingin disampaikan pemasangan baligo tersebut terutama bagi pemda sendiri? Apakah ingin mengatakan kepada masyarakat silakan bersodaqoh kepada para pengemis-pengemis tersebut?

Wallahu’alam

Semoga bukan sekedar pajangan di pinggir jalan.

Jogja, 22 November 2010

22 Oktober 2010

Naik Delman

Hanya dua kali dalam setahun delman muncul di desaku, dua hari di hari raya Idul Fitri dan satu hari di hari raya Idul Adha. Pada setiap Idul Fitri dan Idul Adha ada perayaan pasar malam di masjid desaku. Masyarakat menyebutnya Masjid Kramat, entah mengapa hingga disebut demikian. Nama resminya Masjid Al Karomah. Di dalam kompleks masjid ada beberapa makam, menurut para orang tua itu makam pendiri desa, seorang bangsawan kraton. Juru kunci Masjid Kramat seorang kakek yang ditunjuk oleh pihak kraton, ini ditunjukkan dengan dibingkainya surat pengangkatan sultan. Bingkai tersebut dipasang di salah satu sisi dinding masjid.

Entah sejak kapan pasar malam diadakan. Pastinya perayaan tersebut bisa menghadirkan delman-delman yang telah menghilang di kota kecil kami. Sebelum kehadiran angkutan kota sekitar tahun 1970-an, delman menjadi alat transportasi utama, bukan hanya dari desa ke pasar di pusat kota kecamatan kami, juga untuk menuju ibu kota kabupaten. Saat angkutan kota melayani kota kecamatan kami menuju ibu kota kabupaten delman mulai menyingkir dari jalan utama, hanya melayani arah utara dan arah selatan dari kota kecamatan kami.

Kota kecamatan kami sangat strategis di jalan pos Daendels, berada di sebelah barat ibu kota kabupaten yang hanya berjarak sekitar 8 km. Di sebelah selatan ada kota kecamatan tetangga yang saat ini telah menjadi ibu kota kabupaten menggantikan ibu kota lama. Sebelah utara daerah agraris di kecamatan kami, sawah membentang luas. Di sebelah barat kota-kota kecamatan lainnya yang dihubungkan oleh jalan pos Daendels. Di pusat kota kecamatan terdapat dua pasar, satu pasar utama yang terletak dipersimpangan pertemuan segala arah tadi. Berjarak satu kilometer ke arah timur terdapat pasar khusus yang hanya menjual kue dan makanan kecil lainnya yang dihasilkan dari desa-desa di sekitar pasar kue tersebut.

Di antara kecamatan-kecamatan lain di kabupaten kami, kecamatan kami paling ramai, hanya kalah dari ibu kota kabupaten lama. Menjadi titik pertemuan. Tempat berdirinya pasar utama kecamatan kami merupakan tempat peristirahatan delman dan pedati yang menuju ibu kota kabupaten lama, masyarakat menyebut tempat tersebut pasalaran dan saat ini menjadi nama pasar di kota kecamatan kami. Saat ini menjadi titik kemacetan utama di kabupaten kami. Jalan utama dari barat ke timur diperlebar, begitu pun ke utara, terlebih ke selatan semenjak ibu kota kabupaten pindah di kecamatan tetangga di selatan. Jalan tol dibangun menghubungkan sisi barat kota dan sisi timur kota, kemacetan masih menyergap kota kecamatan kami. Truk-truk besar dan bis-bis antar kota digantikan motor.

Delman-delman semula masih mendapat tempat di sisi barat pasar Pasalaran. Masih melayani penumpang ke arah utara dan selatan. Persaingan sengit terjadi di jalur selatan, angkutan kota yang menghubungkan ibu kota baru semula tidak mengusik keberadaan delman. Seiring tuanya armada angkutan kota, berganti dengan mobil-mobil baru, generasi baru lebih akrab dengan angkutan kota baru. Jumlah delman semakin lama semakin sedikit. Tidak terasa tiba-tiba menghilang.

Nasib delman jalur utara lebih baik. Masyarakat di utara yang agraris banyak menjadi pemilik delman-delman tersebut. Jarak dari desa mereka ke kota kecamatan kurang lebih 5 km. Untuk menempuh jarak tersebut transportasi umum satu-satunya yang tersedia adalah delman. Delman bertahan lebih lama di jalur ini. Sampai pada akhirnya bernasib sama dengan jalur timur dan selatan. Jalur baru angkutan kota dibuka, melayani jalur utara. Beberapa saat delman masih bertahan. Kebakaran pasar Pasalaran turut "membakar" delman-delman yang tersisa. Lenyap!

Kusir-kusir dari utara masih memiliki delman-delman tersebut. Namun, hadir hanya dalam ritual-ritual tahunan yang ada di kecamatan kami, selain di desaku, delman-delman hadir selama perayaan Maulud Nabi Muhammad saw di desa tetangga. Seperti di desaku, desa tetangga mempunyai masjid dan makam kramat. Disitulah pusat keramaian pasar malam maulud. Naik delman untuk merayakan 3 ritual tahunan.