Pustaka Kita

07 Oktober 2010

Prameks 8

Aku berjalan dengan cepat. Jalan yang memanjang seakan tak berujung ramai disesaki orang. Dari utara ke selatan dan sebaliknya. Kanan kiri jalan disepanjang trotoarnya dipenuhi pedagang kaki lima. Orang-orang berjalan pelan dan berdesak-desak. Aku berusaha mencari celah diantara ramainya manusia. Lima menit lagi, ya lima menit lagi kereta akan berangkat. Sementara jalan seakan begitu panjangnya.

Aku tak peduli dengan keringat dan peluh yang membasahi tubuh dan pakaianku. Matahari membakar tanpa belas kasihan. Langit tersapu bersih tak ada satu awan pun yang menghalangi matahari. Seakan-akan mereka pun takut dengan sinarnya. Stasiun berdiri dengan angkuh didepanku. Menyisakan kemegahan dan keangkuhan jamannya. Suasana sepi segera menjemputku. Tidak ada kerumunan pembeli tiket atau penunggu kereta yang akan membawa mereka pergi.

Tampak sesosok wajah yang tampak aku kenal berdiri didepan pintu masuk. Matanya bergerak ke segala arah seakan mencari mangsa, seakan mencari mangsa tetapi sang mangsa tak ditemuinya. Sebuah isyarat tangan kulambaikan padanya, ketika dua pasang mata bertemu. Sebuah kota yang sama di sebelah di timur menjadi tujuan kami. Kami telat 10 menit. Ia sengaja datang terlambat karena kereta biasa terlambat. Sebuah alasan sama aku miliki. Kami berbincang sebentar untuk kemudian berpisah diluar stasiun dengan tujuannya masing-masing. Ia menyusuri jalan yang sebelumnya aku lalui untuk sekadar mengisi perutnya. Sementara aku berkeliling kota sebentar untuk menunggu datangnya kereta di sore hari.

Tiket telah kubeli diperon. Tidak lama kemudian kereta datang. Orang-orang berebutan menaiki kereta. Sementara penumpang di dalam kereta belum sempat turun. Aku mengambil tempat di sebelah pintu masuk, tidak lama kemudian duduk seorang pria disampingku yang kemudian asyik dengan bacaannya. Tepat diseberangku seorang nenek dengan seorang gadis duduk didekat pintu.

Alangkah cepatnya dunia berubah. Dia bergerak tanpa kompromi melindas yang berusaha menentangnya. Dunia selalu milik yang baru bukan yang lama. Atau aku yang semakin tua. Apa yang kurasakan saat ini adalah sebuah dunia yang telah berubah, dunia baru dengan warna-warna baru. Segar, cantik, menggairahkan dan dinamis. Dalam keterasingan dunia kurasakan pula semakin rapuhnya dunia ini. Ia berjalan tanpa arah dan tujuan jelas. Itulah anak manusia, sebagai lelaki aku melihat wanita sebagai dunia dan keindahan.

Wanita dengan jilbab kembang-kembang, kaos biru dengan balutan jaket jins dan celana jins ketat. Sebuah gambaran wanita modern relijius tersaji di depanku. Ku pandangi dia seakan aku ingin menguliti tubuhnya yang ramping dan kulit kuning langsat. Ku bedah dari ujung kaki sampai ujung kepala. Alangkah indahnya duniaku. Aku bergulat dengan diriku sendiri. Sebuah pertanyaan muncul, bisakah aku mencintai makhluk terindah di dunia ini?

Kenangan lama bermain-main dibenakku. Dua tahun ini rasa cinta seperti lenyap dari diriku. Aku pernah bilang pada diriku sendiri bahwa cinta tidak harus memiliki. Cinta tidak akan pernah mati. Namun, cinta tidak bisa memiliki apa yang dicintai, cinta hanya memiliki diri sendiri dan sang pecinta. Aku sadari betul hal itu ketika aku mencintai seseorang. Apakah itu sebuah do’a? Aku tak tahu. Aku memiliki cintanya, tapi aku tidak pernah memiliki ragawinya. Ledakan besar menggoncang jiwaku. Ledakan yang bisa aku tahan, tetapi luka tetap tergores. Luka penyesalan.

Kulihat wajah cantiknya mulai mengantuk, ia berusaha mencari posisi untuk memejamkan matanya ditempat sempit. Sebentar-bentar dia memejamkan mata kemudian membuka kembali. Kemudian menyelonjorkan tubuhnya sehingga lekukan tubuh menjadi santapan birahiku. Di saat lain ia mengangkat salah satu kakinya ke atas sebagai pangkuan kepalanya. Maaf kan mata yang kurang ajar ini. Aku bersimpati dengan kantukmu, tapi aku tak kuasa melihat dunia yang telah berubah ini. Aku tersadar bahwa aku masih bisa menikmati kehadiran keindahan. Ya, karena aku begitu menikmati dirimu yang indah. Hanya hatiku masih bertanya seperti apakah dunia yang kucari? Apakah seperti dirimu?

Setiap hari aku melihat wanita sepertimu, indah, menggairahkan. Kekosongan jiwaku turut mengiri pengembaraan batin yang telah terdiam sekian lama. Aku menikmati kehadiran keindahan-keindahan itu setiap hari. Dalam sebuah percakapan Arul bilang “dibanding teman-teman yang lain, kamu masih terbilang normal. Bisa menilai wanita, bercerita pengalaman tentang wanita. Kamu sedang tidak mengalami trauma, tetapi kebekuan”. Sebuah harapan masih aku miliki, tetapi kapan keindahan dengan sepenuh jiwanya bisa menyapaku, kiranya tinggal menunggu waktu.

Kereta berhenti di stasiun pertama, para penumpang berebutan turun, sementara yang diluar berebutan masuk. Aku menunggu reaksinya dimanakah ia akan turun. Ia bangkit dari tempat duduknya, dan segera aku pun mengikutinya. Kumpulan penumpang yang berebut turun menenggelamkannya. Aku segera menerobos kumpulan penumpang untuk mengejarnya. Ditengah keramaian sosoknya sulit kukenali. Seorang gadis dari arah stasiun menyeberang jalan dengan tas punggung dan sebuah bungkusan. Sebuah bus telah menunggu untuk mengantarnya ke tempat tujuan lainnya. Aku hanya bisa menghela nafas dan berjalan ke tujuanku.

Glagahsari, 14 Oktober 2003

Tidak ada komentar: