Pustaka Kita

08 Oktober 2010

Keretaku Datang

Priiiiit.... suara peluit nyaring memekakkan telinga. Tepat sesuai jadwalnya, kereta api berjalan perlahan-lahan meninggalkan stasiun yang sudah tua ini. Stasiun Tugu sudah berumur 122 tahun atau tepatnya berdiri pada tahun 1887. Zaman dimana gula berkuasa penuh di Hindia Belanda terutama di Tanah Jawa.

Pada zamannya, orang boleh mengritik apa saja kecuali mengritik gula. Muncul istilah "Hindia Belanda gabusnya Belanda". Tidak dipungkiri Belanda melalui politik tanam paksanya membangun sistem perkebunan di Indonesia, di Jawa dan di Sumatera. Di Jawa, rakyat diperkenalkan dengan tanaman kopi, tebu, dan lain-lain. Di Sumatera, ditanam perkebunan tembakau. Keuntungan yang diperoleh dari perkebunan sangatlah besar. Uang mengalir ke Negeri Belanda, menyelamatkan sebuah negeri yang sebenarnya terletak di bawah permukaan laut dengan membendung air laut.

Politik tanam paksa berdampak pada menurunnya kesejahteraan petani. Petani di Jawa adalah petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam. Sistem perdagangan masih belum dikuasai oleh para petani bahkan bisa dikatakan sampai sekarang. Keuntungan besar dari perkebunan tidak ikut menaikkan kesejahteraan petani yang telah berubah status menjadi pekebun. Kelaparan dan wabah penyakit terjadi di beberapa daerah di Jawa, seperti Cirebon dan Purwodadi. Petani termiskinkan di tanahnya sendiri.

Pembangunan perkebunan di Jawa dan Sumatera diikuti pembangunan sarana transportasi massal. Jaringan kereta api mulai dibangun di Kemijen, Semarang tanggal 16 Juni 1864 oleh Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM/PT. Maskapai Kereta Api Hindia Belanda). Menghubungkan Kemijen dengan Tanggung sejauh 26 km. Sejak itu panjang jalur kereta api di Jawa bertambah dengan cepat. Antara tahun 1864-1870 panjang jalur kereta api mencapai 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, dan pada tahun 1900 telah mencapai 3.338 km.

Pembangunan tersebut diutamakan untuk kebutuhan pengangkutan hasil perkebunan dari vorstenlanden dan kota-kota pedalaman lainnya ke kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa. Perkebunan di Jawa di dominasi oleh perkebunan tebu. Ini terlihat di beberapa kota seperti Cirebon. Jalur kereta api di Cirebon menghubungkan dengan kota-kota kecil yang memiliki perkebunan tebu. Ke arah barat (Kadipaten) atas permintaan para tuan kebun, dibangun jalur kereta api Cirebon-Kadipaten. Sedianya jaringan kereta api ini akan menghubungkan Cirebon dengan Bandung, namun permintaan para tuan kebun ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jadilah jalur kereta api tersebut terhenti di Kadipaten, dimana antara Cirebon-Kadipaten terdapat kurang lebih 3 pabrik gula besar yaitu PG Gempol, PG Jatiwangi, dan PG Kadipaten. Ke arah tenggara dibangun jalur kereta api menghubungkan Cirebon dengan Purwokerto. Sepanjang jalur ini setidaknya sampai Ciledug berdiri pula kurang lebih 4 pabrik gula besar yaitu PG Sindang Laut, PG Karang Suwung, PG Karang Sembung, dan PG Tersana Baru.

Ada perbedaan dasar pembangunan jalur kereta api di berbagai daerah di Indonesia. Bila di Jawa dan Sumatera Timur digunakan untuk kepentingan perkebunan. Di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan digunakan untuk kepentingan pertambangan batubara. Sedangkan di Aceh digunakan untuk kepentingan militer dalam rangka aneksasi Belanda terhadap Aceh. Baru setelah itu sarana kereta api digunakan pula untuk kepentingan perpindahan manusia.

Bagaimana nasib jalur-jalur kereta api dan perkeretapian sekarang? Total jalur kereta api yang telah dibangun di Indonesia adalah 7.583 km. Saat ini lebih dari 2.500 km telah ditutup. Semua jalur kereta api tersebut dibangun pada zaman Hindia Belanda. Artinya berkurangnya jalur kereta api di Indonesia terjadi setelah Hindia Belanda runtuh. Dimulai oleh Jepang yang menduduki Indonesia antara 1942-1945. Jepang sempat membangun jalur kereta api baru sepanjang kurang lebih 300 km, 83 km menghubungkan Bayah-Cikara dan 220 km menghubungkan Muaro (Sumatera Barat)-Pekanbaru (Riau). Pembangunan jalur kereta api Muaro-Pekanbaru mempekerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah romusha. Banyak korban jiwa dalam pembangunan jalur kereta api ini yang dibangun hanya dalam waktu 15 bulan. Pembangunan yang dilakukan oleh Jepang tidak signifikan dengan pembongkaran jalur kereta api. Tidak kurang dari 473 km jalur kereta api dibongkar oleh Jepang, jalur yang dibongkar antara lain Yogyakarta-Pundong. Rel-rel yang telah dibongkar tersebut kemudian dibawa Jepang ke Burma (Myanmar), untuk membangun jalur kereta api dari Myanmar ke Thailand. Peninggalan rel tersebut dapat ditemui diperbatasan Myanmar-Thailand berupa jembatan kereta api yang menyeberangi sungai perbatasan kedua negara.

Di tangan pemerintah Republik Indonesia, jalur kereta api yang ditutup lebih banyak, 9.00 km lebih. Beberapa jalur kereta api yang ditutup oleh pemerintah RI adalah Cirebon-Kadipaten kurang lebih 50 km, Banjar-Pangandaran dimana dijalur ini terdapat terowongan kereta api terpanjang di Indonesia kurang lebih 1 km bernama terowongan Wilhemina, jalur Yogyakarta-Parakan, Yogyakarta-Semarang, Yogyakarta-Palbapang, Solo-Boyolali, Purwokerto-Wonosobo dan masih banyak lagi. Penutupan jalur kereta api tersebut berdasarkan pertimbangan ekonomi, sudah tidak menguntungkan lagi.

Kereta api telah meninggalkan Yogyakarta menuju Stasiun Pasar Senen, stasiun pemberhentian terakhir. Sepanjang perjalanan, kereta api akan menyapa stasiun lainnya. Disinilah menariknya kereta api Indonesia saat ini. Selain menyapa 3 stasiun transit, yaitu Stasiun Wates, Stasiun Purwokerto, dan Stasiun Kejaksan Cirebon, kereta api tanpa diduga bisa berhenti di stasiun-stasiun kecil.

Seperti lazimnya sebuah stasiun, tempat naik dan turunnya penumpang kereta api, dan kereta api adalah alat pengangkut orang dari satu stasiun ke stasiun lainnya, banyak orang yang datang dan pergi dan naik dan turun. Sepanjang perjalanan kereta api seakan telah menjelma bentuk rupa yang lain, menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli alias pasar. Berbagai bentuk rupa barang ditawarkan, semakin rendah kelas sebuah kereta api semakin lengkap barang yang dijajakan. Pedagang, pengamen, pengemis, penjaja koran, tukang sapu, tukang pijat, dan lain-lain dapat ditemukan di kereta api. Sepanjang Yogyakarta-Jakarta dibagi menjadi beberapa bagian area pasar. Pedagang yang naik dari Stasiun Kutoarjo tidak akan berdagang sepanjang perjalanan kereta api, ia akan turun di Stasiun Kroya untuk digantikan oleh pedagang dari Stasiun Kroya yang kemudian terjadi pergantian di Stasiun Purwokerto, Stasiun Bumiayu, Stasiun Prupuk, Stasiun Ciledug, Stasiun Kejaksan dan seterusnya. Stasiun-stasiun kecil (diluar Stasiun Purwokerto dan Stasiun Kejaksan Cirebon) yang disebutkan tidak masuk dalam stasiun transit terutama untuk kereta api bisnis. Menariknya kereta api bisnis sering berhenti di stasiun-stasiun kecil tersebut, bukan untuk menaik-turunkan penumpang tetapi menaik-turunkan pedagang. Seperti terjadi simbiosis mutualisme antara PT KA dengan para pegiat ekonomi tersebut.

Keramaian stasiun-stasiun kecil bukan karena adanya penumpang. Stasiun berubah menjadi tempat transit para pedagang dan pegiat ekonomi lainnya. Kerumunan orang yang dijumpai di stasiun bukanlah kerumunan penumpang, mereka adalah pegiat ekonomi yang sedang menunggu kereta api yang akan datang. Kereta api berkembang menjadi pasar terpanjang di Indonesia.

Yogya, 24 Agustus 2009

Tidak ada komentar: