Ingsun titip tajug lan fakir miskin
Kalimat tersebut sangat familiar di masyarakat Cirebon. Begitu familiarnya oleh pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten Cirebon kalimat tersebut dipasang diberbagai sudut jalan. Kalimat tersebut konon berasal dari Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga. Sebagai wasiat Sunan Gunung Jati kepada masyarakat Cirebon.Arti kalimat tersebut kurang lebih “saya titip masjid dan fakir miskin”. Bagaimana kondisi masyarakat Cirebon pada waktu itu? Sehingga beliau berwasiat seperti itu. Apakah wasiat tersebut masih relevan bagi masyarakat Cirebon? Sehingga perlu diingatkan terus.
Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan, Putri, seorang seniman muda dari Cirebon. Tepat saat Merapi meletus 4-5 November lalu ia baru saja menginjakkan kakinya di Jogja. Saya bertemu dengannya disebuah rumah di daerah Baciro, saya dikenalkan dengan teman-temannya yang sedang bergiat membantu pengungsi Merapi. Salah seorang temannya sebut saja Bang Buyung, ia berasal dari Sumatra tapi pernah tinggal dan berbisnis di Cirebon. Ia mempunyai jaringan yang cukup baik, termasuk dengan kalangan bangsawan di salah satu keraton di Cirebon. Tidaklah aneh bila ia juga pernah berkunjung ke Astana Gunung Jati (sebenarnya terdiri dua kompleks yaitu Gunung Sembung dan Gunung Jati), kompleks makam sultan-sultan Cirebon, termasuk makam Sunan Gunung Jati. Begitu pula sang kawan, walaupun sampai saat ini baru satu kali berkunjung ke sana.
Ada kesamaan antara Putri dan Bang Buyung soal Astana Gunung Jati, terlalu banyak pengemis dan sangat menyiksa. Saya mengamini hal tersebut. Adalah hal lumrah dikompleks-kompleks ziarah wali sanga banyak ditemui pengemis. Di Astana Gunung Jati bisa dikatakan luar biasa. Diantara kompleks ziarah wali sanga lainnya, Astana Gunung Jati adalah kompleks yang paling banyak pengemis dan sangat agresif. Sekali kita memberi kepada satu pengemis, maka pengemis lainnya akan berdatangan dan meminta nilai yang sama. Mungkin keagresifannya hanya bisa disamai oleh pengemis-pengemis ditempat ziarah di Madura.
Saya dan Putri meneruskan obrolan di angkringan Tugu, sementara Bang Buyung mempersiapkan bantuan untuk Merapi.
“ang, kenangapa ning cerbon akeh pengemis? Apa maning ning Gunung Jati, apa Sunan Gunung Jati salah wasiat? Wasiate kan ingsun titip tajug lan fakir miskin” (mas, kenapa di Cirebon banyak pengemis? Terlebih di Gunung Jati, apa Sunan Gunung Jati salah memberi wasiat? Wasiatnya kan ingsun titip tajug lan fakir miskin.”), tanya Putri.
Pertanyaan ini sangat menarik, karena wasiat tersebut selalu didengung-dengungkan bahkan menjadi propaganda pemerintah daerah. Untuk wasiat pertama tidak perlu diperdebatkan karena ukurannya jelas. Berbeda dengan pesan kedua fakir miskin yang ukurannya masih bisa diperdebatkan, terlebih dengan melihat perilaku pengemis yang sangat berlebihan. Kami hanya menduga-duga bahwa ada suatu kondisi atau gejala tertentu di masyarakat waktu itu sehingga beliau berwasiat seperti itu dan masyarakat telah salah menerjemahkan pesan beliau, bahwa karena mereka fakir miskin maka mereka layak mengemis dan memaksa orang yang dianggap berlebih untuk memberi. Sekaligus potret kemalasan masyarakat
Pesan tersebut kemudian diterjemahkan pemda dengan memasang baligo-baligo di pinggir jalan. Setiap saat masyarakat disuguhi kalimat tersebut. Sementara dibawah baligo, di pinggiran jalan, para pengemis berkeliaran. Apa yang ingin disampaikan pemasangan baligo tersebut terutama bagi pemda sendiri? Apakah ingin mengatakan kepada masyarakat silakan bersodaqoh kepada para pengemis-pengemis tersebut?
Wallahu’alam
Semoga bukan sekedar pajangan di pinggir jalan.
Jogja, 22 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar