Pustaka Kita

25 November 2010

Bajigur

Sebelum di Jogja, kata tersebut hanya sebuah minuman dari Jawa Barat. Di Jogja kata tersebut berubah arti, seringkali dijumpai kata tersebut keluar saat orang sedang emosi, mengumpat. Seorang teman menjelaskan bahwa kata tersebut memang umpatan dari kata 'bajingan' untuk memperhalus menjadi 'bajigur'.

Sampai akhirnya saya menemukan bajigur sesungguhnya, minuman bajigur. Tidaklah mudah mencari minuman tersebut di Jogja, saya tahu pun dari seorang teman. Hampir tiap malam ia keluar membeli minuman tersebut, semula saya mengira dia hanya beli minuman di angkringan. Ternyata yang ia beli adalah bajigur.

Warung bajigur tersebut terletak di perempatan Tirtodipuran, seberang supermarket Maga. Meskipun jalan disekitar tersebut ramai, tampilan warung tersebut sangatlah sederhana, temaram dengan penerangan sentir, saat ini telah diganti dengan lampu listrik. Bekas lampu sentir terlihat di tembok di belakang tempat duduk simbah. Bentuk warungnya hampir sama dengan angkringan, memakai gerobak dengan jajanan berupa gorengan, nasi kucing, dan yang pasti ketan.

Simbah mulai berjualan bajigur sejak tahun 1968, buka sore hari hingga dinihari. Dari awal berjualan sampai saat ini tidak pernah berpindah tempat. Hanya bergeser sedikit ke utara dari semula benar-benar di perempatan Tirtodipuran, disebabkan pemilik tanah membangun rumah. Pelanggannya adalah mahasiswa AMI (Akademi Musik Indonesia), waktu itu kampus AMI berada dibelakang Maga saat ini.

"ndaleme pundi mas?", tanya seorang bapak teman bicara.

"Gowok pak", jawabku

"kalih kompleks polisi?"

"nggih ngriku", jawabku lagi

"njenengan polisi?"

"sanes pak, ming ngontrak"

"monggo mas, pareng". ia pamit pergi setelah membayar makanan dan minuman

"monggo", jawabku

Bajigur, gara-gara bertanya simbah, rambut cepak, dan tinggal di kompleks polisi dikira polisi.

Jogja, 23 November 2010

Tidak ada komentar: