Pustaka Kita

04 Agustus 2012

Sepak Bola Eropa dan Kita


Euro 2012 Polandia-Ukraina memasuki partai puncak. Dua tim yang bertanding di partai final di Kiev telah diketahui, Spanyol vs Italia. Di semifinal Spanyol mengalahkan tetangga Iberia-nya—Portugal—lewat adu tendangan pinalti dengan skor akhir 4-2 untuk Spanyol. Sehari kemudian Italia mengalahkan Jerman dengan skor 2-1, dua gol Italia diborong Mario Balotelli di babak pertama, Jerman hanya bisa membalas satu gol lewat titik putih yang dilakukan oleh Mesut Ozil.

Tiga dari empat negara semifinalis Euro 2012 Polandia-Ukraina sangatlah akrab bagi penggemar sepak bola di Indonesia yakni Jerman, Italia, dan Spanyol. Inggris bisa dimasukkan dalam kategori tersebut, sayangnya harus angkat koper terlebih dahulu setelah dikalahkan Italia di perempatfinal. Liga sepak bola negara-negara tersebut pernah dan masih menghiasi layar kaca.

Dekade 80-an Liga Jerman atau Bundesliga hadir di televisi Indonesia. Klub-klub seperti Bayern Nurnberg, Bayer Uerdingen (sekarang lebih dikenal dengan Uerdingen 05), Eintracht Frankfurt, Borussia Monchengladbach dan tentu saja Werder Bremen, Borussia Dortmund, Bayern Muenchen sering menghiasi layar kaca. Bagi generasi sekarang tidak begitu mengenal dua klub yang disebut diawal. Pola 3-5-2 sedang tren di sepak bola Jerman, puncaknya Jerman menjadi juara Piala Dunia 1990 di Italia. Kardono, ketua PSSI waktu itu, mengadopsi pola 3-5-2 Jerman untuk dipakai di Indonesia. Pemain Indonesia waktu itu hanya mengenal pola 3-5-2, sering gagap bila pelatih timnas memakai pola lain.

Dekade 90-an Indonesia mulai mengenal sepak bola Italia. Stasiun televisi swasta menanyangkan Seri A, konon stasiun televisi pertama diluar Italia yang menyiarkan Seri A, dengan begitu Indonesia adalah negara pertama selain Italia yang menikmati Seri A. Pengaruh Seri A sangat kuat bila dibandingkan dengan liga-liga Eropa lainnya, baik sebelum dan sesudahnya.

Di televisi siaran Seri A merajai di akhir pekan. Peluah itu dilihat oleh stasiun-stasiun televisi lainnya. Terjadi persaingan sengit dalam memperebutkan hak siar Seri A. Bisa dikatakan, kita (stasiun televisi) saling membunuh sesamanya. Harga pun melambung tinggi, sehingga pada akhirnya tidak ada satu pun yang menjadi pemenang. Stasiun televisi mulai menghindari Seri A karena harga yang sudah diluar normal.

Popularitas Seri A didorong pula adanya program Primavera dan Baretti. PSSI mengirimkan pemain-pemain muda yang dikumpulkan dalam sebuah tim untuk mengikuti kompetisi level yunior di Italia, Primavera dan Baretti. Kurniawan D.Y. dan kawan-kawan digadang-gadang sebagai pemain harapan di masa depan. Ini dibuktikan dengan dikontraknya Kurniawan D.Y. oleh klub Swiss FC Luzern tahun 1994-1995. Ia tercatat sebagai pemain Indonesia pertama yang dikontrak klub Eropa. Dua musim di FC Luzern, Kurniawan mencetak 10 gol, jumlah gol yang tidak sedikit untuk ukuran pemain muda dan pertama kali berkiprah di Eropa. Kiprahnya diikuti Bima Sakti, dikontrak oleh klub Helsingborgs IF tahun 1995-1996. Bima tercatat sebagai pemain Indonesia pertama yang bermain di UEFA Cup atau Europa League.

Media cetak turut memeriahkan hingar bingar Seri A. Berita Seri A menjadi sajian utama berita olahraga. Sampai saat ini hal tersebut masih terjadi di beberapa media cetak. Efek dari gencarnya siaran langsung Seri A dan pemberitaan di media cetak, istilah-istilah sepak bola dalam bahasa Italia menjadi sangat akrab di telinga orang Indonesia seperti tifosi untuk suporter, espulso untuk kartu merah, amonito untuk kartu kuning, capolista untuk pemuncak klasemen, copa untuk piala, dan sebagainya. Sebuah media cetak nasional dari Jawa Timur sering menggunakan istilah-istilah Italia seperti tifosi,capolistacopa, dan lainnya menggantikan istilah Indonesia atau Inggris. Sampai saat ini istilah-istilah Italia masih sangat akrab. PSSI sebagai penanggung jawab sepak bola Indonesia pun sempat menggunakan kata Copa Indonesia untuk gelaran Piala Indonesia—diluar unsur pesanan sponsor.

Masifnya Seri A juga berimbas ke penonton. Penonton mengidentifikasi dirinya berdasar klub-klub kesayangannya, fans club bermunculan. Tifosi Juventus akan mengidentikkan dirinya Juventini. Milanisti untuk AC Milan, Interisti untuk Internazionale, Laziale untuk tifosi Lazio, Romanisti untuk tifosiAS Roma dan sebagainya. Menyalakan flare, membawa bendera klub, atau spanduk adalah kebiasaantifosi  di Italia yang banyak kita temui di sepak bola kita saat ini.

Skandal adalah sisi lain dari sepak bola Italia. Dari kerusuhan antar penonton, perwasitan, sampai pengaturan skor. Saat bersamaan hal tersebut identik terjadi di Indonesia. Bedanya di Italia saat skandal mencuat bisa tertutupi oleh prestasi tim nasionalnya. Kala menjuarai Piala Eropa 2006, Italia sedang dilanda calciopoli (skandal pengaturan skor). Kejadian identik terjadi saat ini, Italia sedang dilanda scommessopoli. Ini adalah skandal suap keempat yang terungkap sejak tahun 1980-an. Di Indonesia konflik dan skandal tiada ujung dan tiada kompensasi kebanggaan. Prestasi dan manajerial semakin tidak menentu. Kerusuhan antar suporter seperti tidak terkendali.

Dekade yang sama dengan Seri A, Premier League sedang membangun brand baru sebagai liga teratas Inggris pasca skorsing UEFA. Hingar bingar Premier League dengan suguhan barunya belum bisa mengalahkan Seri A. Naiknya pamor Premier League tertolong oleh persaingan antar televisi yang saling “membunuh” dalam memperebutkan hak siar. Penonton sepak bola disuguhi tontonan alternatif Premier League, kemudian hari sedikit demi sedikit menggerogoti tayangan Seri A yang semakin kehilangan gairah.

Tontonan Premier League terlihat sangat berbeda dengan Bundesliga maupun Seri A. Jarak penonton yang dekat dengan lapangan bahkan terkesan tidak ada pembatas. Penonton yang duduk rapi dan sering bertepuk tangan seperti layaknya nonton teater. Sebagai tontonan sangatlah menghibur. Para pemain jatuh bangun mengejar bola, “polisi” jarang meniup peluit.

Ekspansi Premier League sebagai tontonan lebih masif dari liga Eropa lainnya. Negara-negara Asia Tenggara menjadi pasar utama. Prestasi pas-pasan tapi kegilaan terhadap tontonan  sepak bola sangat luar biasa. Pastinya penonton sudah sangat akrab dengan Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan sekarang Manchester City dan klub-klub Inggris lainnya. Di Thailand, klub-klub mengadopsi sisi ekonomi dan manajerial dalam mengelola klub. Stadion dibuat meniru stadion di Inggris. Membuat merchandise sebagai salah satu sumber pemasukan. Saat ini sudah tertanam idiom, “liga kami adalah TPL, EPL adalah hiburan”.

Kesuksesan Premier League dan klub-klub Inggris tidak diikuti level tim nasional. Pamor Premier League sebagai liga terbaik Eropa tidak berbanding lurus dengan prestasi tim nasional Inggris. Liga hingar bingar prestasi tim nasional melempem juga terjadi di Indonesia. Liga Indonesia sering dikatakan sebagai yang terbaik di ASEAN. Buktinya sampai tahun lalu Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang klubnya bisa bermain di level atas Asia yaitu Liga Champions Asia. Level tim nasional, Indonesia bisa dikatakan raja runner up di beberapa gelaran Piala Tiger atau Piala AFF.

Media televisi kembali memberi andil dalam suguhan tontonan sepak bola. La Liga yang di Indonesia jadwalnya tidak bersahabat masuk menjadi tontonan alternatif. La Liga sering dikatakan liga pacuan kuda karena dalam setiap musim hanya ada dua tim yang berpeluang menjadi juara, Barcelona dan Real Madrid. Valencia, Atletico Madrid, Athletic Bilbao, Sevilla, dan lainnya seakan menjadi penggembira. Kehebatan mereka belum bisa menandingi kedigdayaan Barcelona dan Real Madrid.  Sejak 2000, selain Barcelona dan Real Madrid hanya Valencia yang pernah menjuarai La Liga.

Belum bisa diketahui apa yang sudah ditransfer dari La Liga atau kesamaan kejadian di La Liga dengan sepak bola di Indonesia. Penonton matang saat ini lahir dari Bundesliga, Seri A, dan Premier League. Kita lihat generasi yang mendatang.

Tidak ada komentar: