Pustaka Kita

07 Oktober 2010

5 bulan lalu

Pukul 1 nanti malam tepat 5 bulan lalu kita bertemu untuk pertama kalinya. Apakah adik akan kembali ke Yogya lagi? Hanya adik yang tahu.

Sebentar tapi banyak hal yang mendalam telah terjadi. Mas tidak ingin menyalahkan siapa pun diantara kita atas apa yang terjadi selama adik di Yogya. Mas pernah bilang pada adik "lihatlah ke depan, bukan ke belakang". Untuk kesekian kali mas hanya bisa mengatakan 'maaf' bila telah mengecewakan dan menyakiti adik. Awalnya komunikasi kita berjalan dengan baik, seiring waktu komunikasi kita menjadi sangat buruk. Ego kita tidak mau disalahkan, tidak mau mengalah pada akhirnya kita saling sakit dan menyakiti. Adik sakit karena mas dan sebaliknya. Sampai sekarang mas punya keyakinan sakitnya adik di bulan Maret disebabkan karena sikap mas, benar tidaknya hanya adik yang tahu pasti. Mas juga sakit, rasa sayang dan bersalah campur jadi satu. Masuk bulan Mei bertambah parah. Sempat ke dokter dan pengobatan alternatif, dari diagnosa dokter dan pengobatan alternatif mas mengambil kesimpulan sakit mas karena hati yang terluka. Mas pernah cerita pada adik, semua penyakit bermula dari hati, saat ini mas benar-benar mengalaminya.

Memang menyakitkan apa yang telah terjadi diantara kita, bahkan saling menyakiti diri sendiri atas nama kasih sayang. Yang kadang sayang dan benci seperti dua sisi mata uang. Ada hal yang menyebabkan kenapa mas sulit menerima dan akhirnya sakit. Ketika mas menerima kehadiran seorang wanita hanya ada dua jawaban yang mas sediakan untuk wanita tersebut, IYA atau TIDAK. Kedua-duanya punya konsekuensi sendiri-sendiri.

IYA artinya keduanya harus bisa menerima apa adanya masing-masing individu, untuk bisa menerima tidak serta merta jadi, akan selalu terjadi proses untuk saling menerima dan tentu saja mengerti. Konsekuensi dari kata IYA berdampak kedua orang yang menjalaninya karena ada dua ego berbeda pada satu tempat. Bisa jadi yang satu ingin ke selatan dan satunya ingin ke utara. Oleh karenanya ada tiga prinsip yang ingin mas terapkan bila menjalin hubungan khusus dengan wanita, kejujuran, kepercayaan, dan saling pengertian. Apapun yang terjadi setelah seorang wanita mengatakan IYA, mas akan mempertahankan hubungan itu. Dan mas gagal menerapkan bersama adik yang berujung perpisahan kita, itulah yang membuat mas sakit. Mas tidak bisa menerima kepergian adik selain tidak ada alasan dari adik yang bisa mas terima juga pastinya karena adik mengatakan IYA mau menikah dengan mas. Akan banyak pertanyaan mengapa dalam jawaban IYA.

Berbeda dengan kata TIDAK. Konsekuensinya hanya pada orang yang menerima jawaban, bisa menerima jawaban itu atau tidak. Bagi mas sendiri, jawaban TIDAK adalah harga mati yang harus diterima, mas tidak akan menanyakan mengapa wanita tersebut memberi jawaban TIDAK. Tidak ada sakit disitu karena mas tahu si wanita tidak ingin mas masuk lebih dalam kehidupannya. Batas yang telah dibuat tersebut tidak akan mas lewati meski pun bila pada suatu waktu wanita tersebut berubah pikiran dan mengatakan IYA. Mas tidak akan masuk dalam kehidupannya dan tidak akan membuka pintu bila pada akhirnya si wanita ingin masuk.

Sekarang mas sedang berusaha berdamai dengan apa yang telah terjadi. Menerima kenyataan bahwa adik telah pergi terutama hati adik bukan hanya fisik adik saja. Sangatlah sombong bila mas berpikiran adik akan lebih baik bila ada disamping mas, pada kenyataannya tidak ada yang tahu tentang masa depan. Mas tidak tahu apakah selepas adik dari mas dan Yogya keadaannya lebih baik atau tidak, semoga pilihan sikap adik tidak salah dan semoga keadaan adik lebih baik.

Jujur mas masih berharap adik kembali walaupun mas tahu harapan itu akan menerpa angin. Ahhh.... masa lupa dengan ajaran ikhlas yang sering dikatakan pada adik, ya.... mas ingin ikhlas dengan apa yang terjadi.

Tidak terasa tahun ini sudah setengah jalan, 6 bulan dan 5 bulan lalu adik meninggalkan rumah. Bukan hal mudah meninggalkan orang-orang yang kita cintai dengan cara yang tidak semestinya. Hari ini mas baca tulisan Samuel Mulia, seorang kolumnis tetap Kompas Minggu. Kesimpulan tulisan berjudul "Turut Berduka Cita" kurang lebih "sebenarnya kita tidak pernah memiliki sesuatu di dunia ini. Mungkin pada awalnya kita merasa kehilangan, kita harus ingat bahwa segala sesuatu akan kembali kepada pemiliknya, yaitu Tuhan. Artinya manusia bukanlah pemilik, terlihat atau pun tidak terlihat, bahkan termasuk diri kita sendiri bukanlah milik kita, jadi tidaklah layak kita menangisi sesuatu yang tidak kita miliki."

Semoga sekarang kita bisa lebih berbahagia.

6 Juni 2010

Tidak ada komentar: