Sejak hadir untuk kedua kalinya di Yogyakarta, ini kali kedua menonton di Studio 21. Pertama kali ketika diputar Da Vinci Code, diangkat dari novel kontroversial karya Dan Brown. Bagi yang sudah membaca novelnya tentu akan kecewa melihat film Da Vinci Code, tidak mampu untuk menerjemahkan sebuah novel ke layar lebar. Namun, rasa penasaran membuat antrian yang sangat panjang yang terjadi selama beberapa hari di Studio 21. Mendapatkan tiket hari itu bukan berarti untuk menonton di hari yang sama.
Tidak terlihat ada antrian panjang, tetapi tempat duduk yang tersisa tinggal di depan, padahal midnight, kejadian yang mirip waktu pertama kali nonton di Studio 21. Studio 21 merupakan salah satu tempat favorit nonton sewaktu masih di Hero Jalan Solo, tetapi setelah terjadi kebakaran tradisi nonton berputar dari CD ke CD yang pada waktu itu sedang marak CD bajakan sehingga kualitas gambarnya sangatlah jauh.
Pada masanya ada banyak gedung bioskop di Yogyakarta. Banyak pilihan tempat nonton, dari kelas kambing sampai kelas eksekutif, dari kelas kambing sampai kelas atas. Dari harga Rp 500 sampai Rp 9.000. Hampir disetiap tempat strategis ada gedung bioskop dan uniknya gedung bioskop di Yogyakarta umumnya mandiri, maksudnya tidak menyatu dengan pusat perbelanjaan.
Untuk kelas bawah bisa disebutkan Senopati, Yogya Teater–keduanya di Shoping sekarang menjadi Taman Pintar, Sobo Harsono–di alun-alun utara sekarang menjadi Yogya Galeri, konon pernah menjadi tempat nonton favorit mantan Presiden Gus Dur sewaktu masih kos di Kauman–Indra depan Pasar Beringharjo, Permata di Jalan Sultan Agung, dan ada satu lagi di Jalan Solo-lupa namanya-sekarang berubah menjadi TJ’s Cafe yang merupakan bioskop termurah di Yogyakarta dengan tiket Rp 500 (berbanding terbalik dengan bioskop di seberang jalannya).
Untuk kelas menengah ada Ratih di Jalan Mangkubumi–sekarang menjadi Toko Kertas Champion, Rahayu masih di Jalan Mangkubumi–kalau tidak salah sekarang menjadi kantor sebuah bank, Regent di Jalan Solo–sebelah Hero lama yang telah terbakar, dan Mataram yang sampai sekarang masih eksis bahkan untuk beberapa lama menjadi bioskop kelas atas.
Untuk kelas atas tentu saja Studio 21 terletak di Jalan Solo Lantai 2 Hero Swalayan yang kini telah menjadi puing-puing.
Tutupnya berbagai gedung bioskop tersebut banyak sebabnya, ada yang terbakar (Hero kabarnya sengaja dibakar) atau kalah bersaing. Ada dua bioskop yang terbakar yaitu Studio 21 dan Regent, kedua bioskop ini terletak bersebelahan. Hero terbakar pada tahun 1999, tidak lama kemudian disusul Regent. Banyak cerita horor pasca kebakaran kedua gedung bioskop tersebut, dikabarkan ada hantu-hantu yang bergentayangan di sekitar puing-puing kebakaran sehingga untuk beberapa lama daerah sekitarnya menjadi sepi.
Sebab kedua tutupnya bioskop-bioskop di Yogya terutama kelas menengah adalah kalah bersaing dengan CD. Akhir abad kemarin dan awal abad ini adalah masa booming CD, saat itu merupakan mainan baru mahasiswa Yogya didukung hebohnya Bandung Lautan Asmara. Dengan mengeluarkan uang tidak lebih dari Rp5.000 sudah didapatkan paling tidak 3 CD film terbaru, akan lebih ringan lagi bila urunan. Tidak perlu ke bioskop, film terbaru, bisa santai, dan nonton ramai-ramai. Masa-masa itu jangan berharap mendapatkan CD terbaru diakhir pekan, karena sudah dibooking beberapa hari sebelumnya, jadilah acara akhir pekan di kamar kos, tidak masalah ‘bertapa’ selama dua hari (sabtu dan minggu) untuk menghabiskan film-film yang di sewa.
Jangan dibayangkan bagaimana kualitas CD film tersebut, tentu sangat jauh karena semuanya bajakan, sangat jarang CD original. Tidak ada yang mempermasalahkan, toh pada kenyataannya lebih banyak kebanyakan meminjam film dalam kategori XXX. Orang rela mengantri hanya untuk mendapatkan XXX. Apa karena kualitas gambarnya lebih bagus dari film bajakan lainnya?
Bioskop yang tutup akibat kalah bersaing antara lain Ratih, Rahayu, dan Widya.
Masih ada sebab lainnya yaitu penggusuran atau dialihfungsikan, seperti Senopati dan Yogya Theater yang sekarang dijadikan Taman Pintar, kemudian Sobo Harsono yang kemudian menjadi Yogya Galeri.
Dari sekian banyak gedung bioskop tersebut, hanya tiga gedung bioskop yang belum saya sambangi yaitu Senopati, Sobo Harsono, dan bioskop yang sekarang menjadi TJ’s Cafe.
Kamis, 5 Juli 2007
Arsip FS
4 komentar:
hi slm knl ya,
btw kebetulan aq penikmat nonton film di bioskop, waktu itu di mulai sejak aq smp klas 1, tadinya sih niat pgn bgt nonton ke regent tp ternyata p[as uda nyampe sana uda kebakar bioskopnya, pas hari jumat,
pertamanya nonton di bioskop Istana, kotagede, br setelah itu beralih ke permata, widya, indra, senopati, begitu masuk SMA, br nyobain di mataram,
sebenarnya, darah aq sk nonton bioskop itu dr simbah putri aq, tp syg pas giliran generasi aq, semua bioskop itu tutup satu per satu, pgn bgt nyoba di ratih, tp syg uda bangkrut, btw 1 lg, aq jg lebih sk nonton bioskop yg mandiri, tidak jadi satu dgn mall, soalnya lebih kerasa bioskopnya, dr pintu masuk, trus pintu keluar, hehe kangen masa2 indah itu jadinya
salam kenal juga,
Ada kenikmatan tersendiri menonton film di bioskop daripada di tv misalnya. Selain bertemu banyak orang, suasana gedung bioskop, dan tentu saja film bisa lebih dinikmati. Sampai beberapa tahun yang lalu Jogja kaya gedung bioskop mandiri. Sayang, seiring monopoli film, banyak gedung bioskop bertumbangan. Hanya bioskop tertentu yang eksis. Sayangnya berada di mall-mall.
Kebakaran regent benar2 ngeri. Banyak orang2 teriak. Kejadiannya malam hari. Apalagj pas lihat yg nekat lompat ke halaman LPP. Waktu itu aq kelas 5 SD, ya.., diajak lihat sama orang tua. Apalagi listrik mati semua.
Setelah itu tetangga q yg jualan di dekat situ, pernah didatangi sesuatu. Terus gak berani jualan di situ.
banyak juga bioskop di yogyakarta pada kala itu..makasih infonya mas
Posting Komentar